Kenyataan manusia memang mahluk yang sangat lemah dan serba kurang. Seorang manusia, jangan kan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan saja kadang dia tidak ketahui. Cara yang biasanya paling diandalkan oleh manusia adalah dugaan, dan itu pun membutuhkan pengalaman terlebih dahulu, baik itu pengalaman sendiri maupun orang lain. Itulah manusia kebenaran yang berasal darinya sangatlah relatif, mislanya benar menurut di abelum tentu benar menurut orang lain, benar bagi suatu kaum tapi tidak untuk kaum yang lain, bahkan benar saat ini belum tentu benar untuk besok.
Manusia sangatlah membutuhkan aturan, agar pda saat manusia memenuhi kebutuhannya dia tidak melanggar hak-hak orang lain. Nah apa jadinya bila manusia yang pada kenyataannya itu lemah harus membuat hukum untuk mengatur kehidupannya sendiri, maka yang terjadi munculah darinya aturan-aturan yang mengandung dugaan. Jadi, jangan heran kalau dalam sistem yang memungkinkan manusia membuat aturan/hukum entah itu teokrasi, otokrasi, monokrasi, ataupun demokrasi, peraturan itu akan berubah-ubah. Sebab yang bisa di lakukan manusia hanyalah uji coba atau eksperimen, yang jika gaga dengan mudah menggantinya, dan begitulah selanjutnya penggantinya pun ternyata gagal lagi, bahkan menimbulkan masalah baru yang padahal masalah lamanya saja tidak selesai.
Dari susut pandang dan logika diatas, kita sudah bisa mengatahui bahwa sudah selayaknya aturan itu dikembalkan pada satu-satunya dzat yang mengetahui secara sempurnahakikat penciptaan manusia, apa yang di butuhkan, dan bagaimana cara memenuhinya dengan sebaik-baiknya pemenuhan yaitu Allah SWT. Dengan kata lain, kita posisikan Allah sebagai Alhakim dan kita tinggal mentaati segala aturan yang telah ditetapkanNya.
Dari sudut pandang naluri dan perasaan seseorang yang sudah beriman kepada Allah dan yakin bahwa Allah adalah pencipta (al-khalik), pasti akan tunduk kepada setiap Aturan-Nya. Hal ini sangat wajar karena seorang hamba secara aluriah akan memenuhi semua perintah dan larangan Tuhannya (dalam hal ini adalah Allah), karena dialah yang Maha Mengetahui hakikat manusia, baik dan buruknya bagi manusia. Sungguh betapa sombongnya manusia jika mencampkan dan enggan menggunakan aturanNya dan betapa carut marutnya kehidupan saat aturanNya tidak digunakan sebagai solusi permasalahan.
Padahal telah jelas Allah berfirman : “…. Menetapkan hukum itu hanyalah Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (Q.S Al-an’am : 57), selain itu dijelaskan pula dalam surat al-maidah: 50, Hud : 45, dan suart at-tiin : 8.
Apabila kita beriman kepada Allah SWT dan RasulNya serta al_qur’an itu adalah kalamullah sebagai konsekuensinya kita dengan rela akan menjalankan seluruh perintahNya dan menjauhi apa-apa yang dilarang-Nya. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hari mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamy berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa : 65)
Jadi dari sudut pandang manapun manusia tidak bisa lari dari kenyataan bahwa Allah adalah al-hakim. Hukum Islam atau hukum Allah apabila diterapkan dalam kehidupan manusia akan menenangkan akal dan menentramkan jiwa, dan tentunya akan sesuai dengan fitrah manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, seorang manusia haruslah menyesuaikan seluruh perbuatannya kepada perintah dan larangan syara. Dalam pembahasan fikih dikenal suatu kaidah usul yang artinya “hukum asal perbuatan adalah terikat hukum syara.” Seorang muslim sudah seharusnya apabila ingin melakukan suatu perbuatan hendaklah ia mencari hukumnya terlebih dahulu. Apakah itu wajib, sunah, makruh, mubah, atau haram. Sedangkan hukum untuk benda adalah ibadah (boleh) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
05 Mei 2009
Islam Jalan Hidupku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
0 komentar to “Islam Jalan Hidupku”
Posting Komentar