20 Juni 2009

The Great Mother

Kata “mother”, “bunda”, “ibu”, “mama”, “emak”, “simbok” dan sebagainya terdengar sederhana dan sangat sering kita dengar. Semuanya sama saja, berarti “ibu”. Yakni, seorang wanita yang telah melahirkan kita. Dalam perkembangannya, tak semua ibu bisa merawat dan mendidik anak-anaknya. Kenyataannya, kini banyak wanita yang lebih banyak beraktivitas di luar rumah, dengan atau tanpa meninggalkan peran utamanya di rumah.

Kata “the great”, membuatnya menjadi luar biasa. The Great Mother adalah sebuah predikat istimewa yang dimiliki oleh seorang wanita setelah ia memberanikan diri menjabat sebagai istri. Menjadi ibu adalah konsekuensi logis ketika kita mengizinkan seorang lelaki asing mengucapkan qabul sambil menjabat erat tangan wali kita. Manusia hebat, terlahir dari ibu yang hebat dan mendidiknya dengan penuh kesabaran. Seorang ibu yang hebat akan mencurahkan segenap kemampuannya untuk menjadikan anak-anaknya berkualitas. Ia tak pernah mengeluh terhadap banyaknya jumlah anak (misal tiap tahun lahir satu anak), kerepotan dalam mengurusnya, serta beratnya mendidik mereka 24 jam nonstop. Ibu tangguh akan senantiasa sabar dan qonaah pada apapun yang terjadi padanya karena itu semua adalah konsekuensi yang harus ia terima sebagai ummu wa robbatul bayt (Ibu dan pengatur rumah tangga).

Setidaknya, The Great Mother harus memiliki enam peran, antara lain:

1. Sebagai hamba Allah. Dalam kehidupannya, laki-laki dan perempuan dituntut untuk menjalankan kewajiban yang sama yakni menaati perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan menikah, tak membuat kewajiban-kewajibannya sebelum menikah menjadi lenyap. Ia tetap harus menjaga amal-amal baiknya sejak sebelum menikah.

2. Sebagai Best Wife. The Great Mother haruslah bisa menjadi istri terbaik yang dibanggakan oleh suaminya. Selalu menaati segala perintahnya selama bukan perintah pada kemaksiatan, dan selalu menyenangkan suaminya, menjaga kehormatan suami ketika suaminya tak berada di rumah, menjaga hartanya, mencari keridloannya, qonaah pada setiap yang diberikan suaminya sebagai rizki yang halal. Menjadi motivator dan tempat bersandar kapanpun dan di manapun suaminya butuhkan. Menjadi sahabat yang asyik diajak bercanda dan tidak menampakkan muka yang masam di depan suaminya. Juga ketika suami baru pulang bekerja, ia selalu menyambutnya dengan wajah ceria.

3. Sebagai Ibu Tangguh. Ini jabatan terberat yang disandang seorang wanita setelah ia berikrar menjadi istri. Sebagian orang berpendapat bahwa belumlah wanita itu menjadi sempurna sebelum ia menjadi ibu dan mengabdi pada suaminya. Wallahu a’lam. Ia akan rela bersakit-sakit demi kebahagiaan keluarganya. Ketika sedang nikmat-nikmatnya tidur, ia ikhlas bangun ketika mendengar tangis anaknya yang lapar atau sakit. Ketika sedang enak-enaknya makan, ia tak mengeluh membersihkan kotoran anaknya yang tiba-tiba buang air. Begitu pula, ia ikhlas untuk mendahulukan keperluan anak-anaknya dibanding kepentingan pribadinya. Jelasnya, ibu tangguh itu bisa melakukan apa saja. Cerdas dalam segala bidang sehingga bisa mengajari anak-anaknya banyak hal dari segi keilmuan maupun keterampilan. Ia pun bisa menjadikan anak-anaknya berjiwa militan dengan selalu mengajarinya tentang keislaman. Menjadikan Rasulullah saw sebagai teladan yang patut dicontoh.

4. Sebagai anggota masyarakat. Peran ini takkan hilang setelah menikah, justru perannya semakin bertambah karena harus mencerdaskan masyarakatnya dengan Islam. Ia harus bisa membagi waktu antara keluarga dan dakwah. Tidak berat sebelah antara tugas yang satu dengan tugas lainnya. Ia selalu ingat peran utamanya sebagai ummu wa robbatul bayt dan dia juga tidak melalaikan kewajiban dakwahnya karena keduanya adalah sama-sama kewajiban yang dibebankan kepada setiap muslimin.

5. Sebagai Anak yang Berbakti. Meskipun setelah menikah, suaminya yang menjadi walinya bukan berarti ia meninggalkan perannya sebagai anak dari orangtuanya. Ia tetap harus berbakti dan selalu mendoakan mereka, berbuat baik dan memuliakan mereka.

6. Sebagai Menantu Dambaan. Terkadang menantu diversuskan dengan mertua, padahal andai saja semua menantu menyadari bahwa mertua adalah orangtua kita juga tentu tidak akan terjadi “perang dingin” antara mereka. kita harus ingat bahwa mertua adalah orangtua dari suami kita, mengasuhnya sejak kecil tanpa lelah hingga menjadi sedemikian sempurna kita melihatnya. Adalah tidak tahu dirinya kita, sudah mengambil anak orang, kita berbuat tidak baik kepada mertua.

Demikianlah, seorang Great Mother mampu menjadi basis perjuangan Islam. Wanita adalah tiang negara, apabila wanitanya tangguh maka negara juga akan tangguh. Anak-anak yang tangguh adalah hasil didikan ibu tangguh. Imam Syafi’i bisa menghafal al-Qur’an pada usia sembilan tahun, Ibnu Sina pada usia sepuluh tahun, ath-Thabari pada usia tujuh tahun, adalah contoh pribadi yang dididik oleh seorang ibu tangguh. Bahkan Albert Einstein yang dikeluarkan dari sekolah dasar karena dicap bodoh, siapa sangka ia bisa menciptakan bom atom. Itu karena ibunya selalu memotivasi dan mendidiknya tanpa lelah.

Setidaknya, ada empat hal yang diperlukan orangtua dalam mendidik anak-anaknya: 1. Menerima yang sedikit darinya; tidak memaksanya agar menjadi juara satu di sekolahnya, kalaupun anaknya dikatakan bodoh sekalipun oleh lingkungannya, ibu harus bisa menerima dan terus memotivasinya bahwa kepintaran manusia itu tidak bisa dinilai dengan bilangan angka, melainkan lebih luas dari itu.
2. Memaafkan yang menyulitkannya; jika anak-anak melakukan kesalahan, kita bersabar dan tidak lekas marah.
3. Tidak membebaninya; jangan menyuruhnya melakukan pekerjaan yang tidak mampu dikerjakannya.
4. Tidak pula memakinya; anak jangan dicap “bodoh”, “nakal”, dsb sebab itu akan melekat pada diri anak dan sulit untuk menciptakan citra baru bagi dirinya bahwa dirinya “baik”.

The Great Mother, singkatnya, adalah ibu yang tahu akan segala yang dibutuhkan suami, anak-anak dan masyarakatnya. Ia bisa menjadi teman yang menyenangkan di setiap waktu, serta menjadi guru yang mendidik anak-anaknya dengan kesabaran. Semoga kita semua bisa menjadi The Great Mother, sehingga bisa menjadi lingkup kecil perjuangan Islam, melahirkan para mujahid-mujahidah militan yang akan memperjuangkan kemuliaan Islam.[yN]

Allahumma amin…. wallahu a’lam bish shawab….
islamuda.com

Selengkapnya...

13 Juni 2009

Democrazy???

Siapapun yang pernah merasakan hidup di bawah penguasa yang tiranik, sewenang-wenang, serta buta dan tuli pada penderitaan rakyat, tentu sepakat bahwa pemerintahan diktator otoriter seperti itu harus dihentikan, dilawan dan dicegah agar jangan pernah muncul kembali.Di dunia, ada beberapa tipe diktator. Ada diktator aristokrasi, yakni diktator para bangsawan. Hukum dibuat hanya untuk melindungi kepentingan bangsawan yang seakan-akan pemilik negara seluruhnya. Kemudian ada diktator teokrasi, yaitu diktator para pendeta. Mereka menciptakan hukum dengan hawa nafsunya, namun diklaim bahwa itu adalah ilham dari Tuhan. Mereka juga mengklaim dirinya tidak bisa salah (maksum). Lalu ada diktator militer, yang memerintah dengan asas “yang kuat menguasai yang lemah”. Dan dalam negara, siapa yang lebih kuat dari angkatan bersenjata?


Demokrasi dicitrakan di Barat sebagai anti tesis dari diktatur, dan memang begitu sejarahnya. Manusia cenderung untuk melakukan pembagian dikotomis: besar-kecil, baik-buruk, benar-salah, demokratis-diktatur. Jarang yang memikirkan pihak di tengah, yang tidak besar maupun kecil, yang tidak dapat disifati baik-buruk (karena bukan persoalan etika), yang tidak dapat disifati benar-salah (karena bukan persoalan logika). Demikian juga, jarang yang berpikir adanya sistem kekuasaan yang bukan demokratis namun juga bukan diktatur.

Maka setelah 32 tahun diperintah rezim Soeharto yang otoriter, anti kritik dan korup, masyarakat menyambut gembira reformasi yang ditandai sejumlah perubahan demokratis. Demokrasi dipahami dengan adanya keterbukaan yang akan mencegah korupsi, dengan kebebasan dari rasa takut untuk berpendapat, berdemonstrasi, membangun media massa, membentuk partai, hingga mencalonkan diri menjadi presiden.

Sejumlah aktivis Islam yang di era Orde Baru harus mendekam di penjara karena vocal mengritik Soeharto maupun yang harus bergerak di bawah tanah, sejak era Reformasi tidak ragu-ragu lagi untuk bergerak terbuka. Muncullah berbagai partai-partai baru, baik yang berasas Islam maupun Pancasila. Mereka berkompetisi memperebutkan kepercayaan rakyat via Pemilu. Mereka mencoba berjuang melalui koridor yang diberikan demokrasi, yaitu mendirikan partai, melakukan kaderisasi dan sosialisasi, ikut pemilu, meraih kursi di parlemen, jabatan kepala daerah atau bahkan presiden, kemudian memodifikasi peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan syariat Islam.

Sejauh ini, itu adalah teori yang dinilai cukup meyakinkan, karena selama ini TNI/POLRI terbukti netral. TNI/POLRI mendukung siapapun yang terpilih di negeri ini. Maka kemudian negeri ini disebut sebagai negeri muslim dengan demokrasi terbesar di dunia, dan negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia dilihat dari jumlah populasinya (setelah India dan AS).

Simplifikasi
Namun semua itu ternyata hanya simplifikasi. Orang menganggap mudah (simple) sesuatu yang sebenarnya tidak sesederhana itu. Ketika demokrasi hanya diartikan sebagai tangga meraih kekuasaan: partai, pemilu, parlemen, maka demokrasi ini oleh para ideolog demokrasi, dianggap hanya prosedural, belum substansial. Apalagi ketika tujuan akhir dari proses ini adalah untuk menegakkan syariat Islam. Sebagian kalangan liberal menilai, cara ini adalah cara Hitler, sang pemimpin NAZI yang berkuasa di Jerman dari tahun 1933-1945 dan menyeret Jerman dalam malapetaka Perang Dunia II. Hitler meraih kekuasaannya dalam proses pemilu yang demokratis. Masa awal pemerintahannya diisi dengan politik pembangunan yang sangat populis (“setiap keluarga Jerman mendapatkan satu pekerjaan, satu rumah dan satu mobil”), sehingga pada pemilu berikutnya dia meraih mayoritas mutlak. Ini kemudian digunakannya untuk merubah konstitusi Jerman sedemikian rupa sehingga dapat dinilai justru membunuh asas-asas demokrasi itu sendiri (yaitu politik diskriminasi dan bahkan pemusnahan bagi para lawan-lawan politiknya). Karena itu tak heran bila kalangan liberal tetap curiga bahwa prosedur demokrasi di tangan para aktivis Islam suatu hari nanti akan dipakai untuk membunuh demokrasi itu sendiri.

Fakta di lapangan memang menunjukkan bahwa prosedur demokrasi ini tidak selalu mulus. Minimal ada empat hal yang menjadi hambatan:
Pertama, bagaimana meraih kemenangan suara terbanyak, ketika suara rakyat jelata yang pendidikannya rendah dan awam terhadap politik sama beratnya dengan para politikus yang cerdas? Bagaimana berkompetisi dengan partai lain yang benar-benar mengandalkan keawaman massa? Kita melihat bahwa pada pemilu 1999 dan 2004, suara pendukung tokoh reformasi Amin Rais dan partainya tidak sebanyak suara ke tokoh dan partai yang lain, yang sebenarnya tidak punya citra reformasi yang kental! Mengapa? Salah satu alasannya: mesin keuangan mereka tidak sekuat kompetitornya.

Kedua, pihak yang mendapat suara terbanyak, tidak otomatis akan didukung dalam segala sikap politiknya. Ini berlaku juga bagi partai yang ingin menegakkan syarat Islam via jalur demokrasi. Akibatnya, partai Islam yang terpilih tidak otomatis akan dibela para pemilihnya itu ketika mereka dalam kesulitan, sebagaimana kasus FIS di Marokko atau Refah di Turki. Pada tahun 1991, FIS memenangkan 188 dari 231 kursi parlemen Aljazair. Tetapi kemudian militer yang direstui Perancis menganulir pemilu dan menangkapi para pemimpin FIS. Tahun 1996 partai Refah yang memenangkan pemilu di Turki bahkan telah memerintah dengan Najmudin Erbakan sebagai perdana menteri. Namun pada 1997 terjadi kudeta militer dengan alasan Refah memiliki agenda Islam yang bertentangan dengan konstitusi. Pada 1998, Mahkamah Agung Turki menyatakan Refah menjadi partai terlarang. Pada kedua kejadian ini, mayoritas para pemilih ternyata memilih bersikap pasif (diam)!

Ketiga, pemegang kekuasaan yang sesungguhnya di negara manapun adalah siapa yang dapat mengendalikan kekuatan bersenjatan (militer). Pengendali ini bisa tokoh informal yang tidak duduk di kekuasaan, bisa pula kekuatan asing. Merekalah yang hakekatnya mampu melakukan apapun, termasuk membekukan konstitusi. Ini terjadi di negeri-negeri yang pernah merasakan kudeta. Siapapun yang memenangkan pemilu, baik dengan jujur maupun curang, tidak akan mampu berbuat apa-apa bila militer tidak netral atau tidak bersama mereka. People power yang sebesar apapun juga hanya akan berhasil bila militer mendiamkannya.

Untuk melakukan kudeta, bagi militer adalah cukup mudah. Cukup merebut pusat-pusat komunikasi, menahan rumah para politisi termasuk memutus semua alat komunikasinya, lalu mengumumkan di televisi bahwa telah terjadi kondisi darurat. Untuk melakukan semua ini hanya dibutuhkan sekitar 1000 orang tentara. Inilah yang terjadi di Thailand tahun 2006.

Keempat adalah hambatan konstitusi. Di beberapa negara, sekulerisme menjadi harga mati yang ditanam dalam konstitusi. Segala upaya apapun yang akan menggoyang asas ini, dapat dinyatakan melanggar konstitusi oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Di UUD 1945 hasil Amandemen para hakim konstitusi ini diberi kewenangan menguji undang-undang apapun terhadap UUD, menyatakan presiden telah mengkhianati negara karena melanggar konstitusi hingga dapat dimakzulkan, membubarkan suatu partai yang agendanya dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena itu, pada negara-negara sekuler, selain para komandan militer, posisi para hakim konstitusi adalah strategis yang harus dijaga agar tetap ditangan orang-orang sekuler.


Jebakan Demokrasi
Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Namun manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan. Benarkah kata Qur’an:

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. (QS Al-Balad [90]: 10-11)

Demokrasi dengan one-man one-vote (setiap orang satu suara) memaksa para pelakunya untuk menggunakan logika jumlah. Dalam waktu pendek, tidak mudah meraih jumlah pendukung yang signifikan. Yang termudah adalah dengan menjual “sesuatu” yang gampang diterima oleh massa. Terkadang sesuatu itu masih dapat berupa gagasan (misalnya “sembako murah” atau citra “bersih”), terkadang berupa public-figure seperti da’i kondang, artis terkenal atau mantan pejabat yang populer, dan yang paling murahan adalah sesuatu yang sifatnya fisik seperti bantuan uang atau materi lainnya. Semua hal mudah ini jelas berakibat lunturnya ideologi partai. Para pemilih bahkan tim sukses pun tidak lagi melihat ideologi atau visi partai yang umumnya terlalu abstrak di benak mereka. Mereka terpaku pada yang “gampang diterima massa”.
Demokrasi prosedural juga memberikan waktu yang terbatas pada siapapun yang terpilih. Para legislator dan kepala daerah umumnya hanya diberi waktu lima tahun. Setelah itu kartu akan dikocok ulang. Khusus para kepala daerah bahkan hanya dapat dipilih ulang sekali saja. Waktu lima tahun tentulah bukan waktu yang cukup untuk perubahan dalam skala ideologi. Revolusi di manapun membutuhkan masa transisi cukup panjang yang biasanya dirasakan cukup berat. Rasulullah yang merevolusi kaum Muhajirin dan Anshar pun dalam sepuluh tahun pemerintahannya dapat dikatakan era transisi, ditandai dengan puluhan perang yang harus mereka alami. Tentu saja tidak mudah untuk mengukir tonggak keberhasilan dalam lima tahun dan menunjukkannya ke para pemilih agar mereka memperpanjang mandatnya. Karena tidak mudah ini, maka dalam masa lima tahun itu terjadilah politik pragmatisme, yakni mengejar kemanfaatan jangka pendek. Dibuatlah berbagai aturan yang dapat memperkokoh kedudukan partai, baik dari segi dana, SDM maupun organisasi. Upaya ini dapat berasal dari pundi-pundi lembaga yang dikuasainya (legislatif, eksekutif, yudikatif) maupun dari unsur-unsur eksternal seperti bantuan dari pihak swasta ataupun bantuan non pemerintah dari Luar Negeri. Semuanya tentu ada kompensasinya. Tidak heran bahwa banyak partai yang semula sangat sederhana, tiba-tiba jadi memiliki gedung kantor yang megah lengkap dengan fasilitas kendaraan mewah dan perlengkapan lainnya setelah kadernya ada yang duduk di parlemen atau pemerintahan.

Dan ketika mereka telah duduk di pemerintahan, tampaklah bahwa ada 1001 persoalan bersamanya. Ada aturan-aturan yang saling menopang dan membelit, yang tidak dapat diubah satu persatu begitu saja. Kadang-kadang seorang menteri atau kepala daerah berpikir bahwa jika suatu aturan dibuat di instansinya, maka dia dapat berinisiatif untuk merubah atau bahkan mencabutnya. Namun ternyata, banyak aturan yang terkait dengan peraturan lain, atau bahkan terkait dengan perjanjian internasional.

Contoh: aturan bunga bank (yang sudah difatwa haram oleh MUI). Kalau suatu kepala daerah ingin membuat perda, misalnya hanya bank-bank dengan sistem syariah yang boleh beroperasi di daerahnya, pasti akan digugat oleh bank-bank konvensional dengan alasan persaingan usaha, dan perda tersebut pasti akan kalah saat Judicial Review, karena menyalahi Undang-undang. Dan kalau Menteri Keuangan bersama Gubernur BI akan mensyariahkan Undang-undang perbankan, pasti digugat oleh IMF, Bank Dunia dan WTO, sebab Indonesia punya kesepakatan-kesepakatan internasional bidang moneter dan perdagangan. Hal ini juga terjadi dalam perkara pertanahan, pertambangan, kehutanan, pendidikan, hukum pidana, hukum perdata, dan sebagainya. Adanya globalisasi makin mempersulit posisi tersebut. Kalau bukan disentil oleh IMF, Bank Dunia atau WTO, kita akan didemo oleh LSM-LSM asing, atau diberitakan miring oleh jaringan pers internasional. Para aktivis syariah akan distempel fundamentalis, radikal, dan teroris!

Hanya revolusi yang dapat mendobraknya, namun revolusi adalah jalan yang mendaki dan sukar. Tidak banyak yang berani menanggung resikonya. Walhasil banyak dari politisi yang masuk dalam legislatif atau eksekutif ini yang menyerah pada situasi, suka tidak suka jadi terlibat dalam sistem perundang-undangan yang tidak lagi melihat halal-haram. Padahal sistem perundang-undangan semacam itu hakekatnya adalah sistem kufur. Akhirnya karena mereka tidak sanggup lagi mengubahnya, mereka menyatakan kondisi saat ini sebagai kondisi darurat. Mereka akan mengatakan bahwa masih lebih baik mereka yang duduk, bukan politisi sekuler yang kejam, bukan pula diktator korup.

Kita tidak ingin mengatakan bahwa para aktivis partai Islam tersebut telah terjebak. Mereka berjuang, dan tidak dinafikan bahwa sebagian dari mereka betul-betul berjuang dengan ikhlas, mengorbankan harta, waktu, tenaga dan pikirannya. Kita menyebut fenomena di atas adalah jebakan sebagaimana seorang prajurit yang gagah berani di medan perang dapat juga tanpa sengaja terkepung pada medan penuh ranjau yang sangat sulit, sehingga dia dengan sadar memutuskan untuk memilih jalan yang dalam pertimbangannya ranjaunya paling sedikit.


Jalur Alternatif
Namun kalau dipikir jernih, ada cara yang lebih aman secara syar’i, meskipun tentu saja lebih sukar. Tidak ada “nikmatnya demokrasi” di sana, karena jalan ini tidak menjanjikan jabatan, tidak menjanjikan “perubahan” yang cepat ataupun segala indikator duniawi lainnya.

Jalan itu adalah jalur yang ditempuh Rasulullah, melalui dakwah ideologis baik ke level akar rumput maupun ke level elit. Di Makkah, hanya level akar rumput yang dapat diakses, itupun dalam 13 tahun hanya berhasil merekrut sekitar 100 orang. Namun di Madinah, dalam setahun, hampir seluruh lapisan elit dapat dipegang, sehingga revolusi berjalan mulus. Tentu saja revolusi ini hanya akan tercatat dengan tinta emas sejarah bila dapat dipertahankan. Dan itu tergantung kesiapan akar rumput menanggung beban revolusi. Namun Rasulullah telah memberikan contoh yang luar biasa bagaimana proses yang alami ini dapat berlangsung manusiawi dan sempurna.
Selengkapnya...

07 Juni 2009

Mush'ab bin Umar

Sahabat Rasul yang satu ini berasal dari suku Quraisy, sama seperti Nabi Muhammad SAW. Selain penampilan sewaktu mudanya yang tampan dan rupawan, ia pun dibesarkan dalam keadaan yang serba kecukupan dan dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Tak mengherankan jikalau ia menjadi buah bibir gadis-gadis Mekkah dan bintang di tempat-tempat pertemuan.

Keislaman Mush'ab bin Umair diawali ketika ia mendengar tentang muhammad SAW yang mendakwahkan dirinya sebagai Rasulullah dan mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah yang Esa. Setelah mendengar Rasulullah sering mengadakan pertemuan dengan para sahabatnya di rumah Arqam bin Abil Arqam, ia pun menyempatkan diri mengikuti majelis yang di dalamnya dibacakan ayat-ayat Al Qur'an. Wahyu yang kala itu dibacakan oleh Rasulullah didengar oleh Mush'ab hingga merasuki hatinya dan menjadi jalan hidayah Allah kepadanya.

Untuk beberapa saat lamanya, Mush'ab menyembunyikan keislamannya. Namun suatu ketika ada seseorang yang melihat gelagat Mush'ab sebagai orang yang telah mengikuti agama Muhammad dan memstorieshukan hal ini kepada ibunya. Sejak peristiwa ini cobaan terhadap keimanan sang pemuda pun mulai datang silih berganti. Mulai dari ibunya yang kemudian memenjarakannya di sebuah tempat terpencil, dua kali hijrah ke Habsyi, hingga pengusiran oleh ibunya yang tidak lagi sudi menganggapnya sebagai anak kandung. Ini juga berarti akhir dari kehidupan mewah dan perlente pemberian orang tuannya yang selama ini dinikmatinya. Begitulah, pemuda rupawan ini lebih memilih hidup miskin dan sengsara, dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari lapar demi cintanya pada Allah.

Suatu hari pernah beberapa orang Muslimin duduk di sekeliling Rasulullah SAW. Ketika mereka memandang Mush'ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata. Sebagian dari mereka tak kuasa menahan air mata karena rasa ibanya terhadap Mush'ab. Akan tetapi Rasulullah SAW melihat Mush'ab dengan pandangan penuh arti, rasa cinta kasih dan syukur. Sambil tersenyum beliau berkata : "Dahulu saya melihat Mush'ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuannya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya."

Begitulah keadaan Mush'ab. Namun berkurangnya atau hilangnya kemewahan dunia pada dirinya justru berakibat pada peningkatan pengabdiannya pada Allah dan Rasul-nya. Tercatat sumbangsihnya yang teramat besar bagi penegakkan kalimat Allah di muka bumi. Ia menjadi duta pertama Rasul yang diutus untuk berdakwah kepada masyarakat Madinah. Dengan sifat zuhud, kejujuran, dan kesungguhan hati, ia berhasil melunakkan dan menawan hati penduduk Madinah hingga mereka berbondong-bondong masuk Islam.

Dalam perang Uhud melawan kaum musyrik, Mush'ab mendapat kehormatan dari Rasulullah SAW untuk membawa bendera kaum Muslimin. Perang ini berlangsung sedemikian dahsyat hingga sejumlah sahabat terkemuka gugur untuk menemui Rabb mereka, tak terkecuali Mush'ab. Seusai pertempuran. Rasulullah SAW dan para sahabat datang meninjau medan pertempuran untuk mengucapkan perpisahan kepada para syuhada. Ketika mereka mendapati jasad Mush'ab, bercucuranlah air matanya. Berkatalah Khabbah Ibnul 'Urrat : "Kami hijrah di jalan Allah bersama Rasulullah SAW dengan mengharap keridhaan-Nya, hingga pastilah sudah pahala di sisi Allah. Di antara kami ada yang telah berlalu sebelum menikmati sedikitpun juga pahala di dunia ini. Termasuk Mush'ab bin Umair yang gugur di Uhud ini." Tak sehelai pun kain untuk menutupinya selain sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua belah kakinya. Sebaliknya bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, "Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput kizir."

***

Begitulah. Kisah ini sepertinya mengajarkan kepada kita untuk tidak terlalu terlena dan terpedaya oleh segala kemewahan dunia yang Allah berikan. Bagaimanapun juga kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah di atas segala-galanya. Seolah kisah diatas berpesan kepada kita, "Biarlah dunia berpisah denganmu, asalkan sang Pemilik dunia dan akhirat menghampirimu".

Pelajaran lain yang menarik adalah bagaimana Rasulullah SAW bersikap terhadap Mush'ab di saat sejumlah kaum Muslimin justru merasa iba melihat kondisi penampilan Mush'ab yang jauh lebih melarat dari sebelumnya. Ketika sebagian sahabat sedih dan menangis, Rasulullah SAW justru bersyukur dan tersenyum. Yah begitulah, manusia hendaknya melihat lebih dari sekedar sisi penampakan lahir dalam menilai seseorang.***

(Sumber : Tabloid MQ EDISI 9/TH.I/JANUARI 2001)

[kotasantri.com]

Selengkapnya...

Mekah adalah pusat dari planet Bumi ?

Neil Amstrong telah membuktikan bahwa kota Mekah adalah pusat dari planet Bumi. Fakta ini telah di diteliti melalui sebuah penelitian Ilmiah.

Ketika Neil Amstrong untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke luar angkasa dan mengambil gambar planet Bumi, di berkata : "Planet Bumi ternyata menggantung di area yang sangat gelap, siapa yang menggantungnya ?."

Para astronot telah menemukan bahwa planet Bumi itu mengeluarkan semacam radiasi, secara resmi mereka mengumumkannya di Internet, tetapi sayang nya 21 hari kemudian website tersebut raib yang sepertinya ada asalan tersembunyi dibalik penghapusan website tersebut.

Setelah melakukan penelitian lebih lanjut, ternyata radiasi tersebut berpusat di kota Mekah, tepatnya berasal dari Ka'Bah. Yang mengejutkan adalah radiasi tersebut bersifat infinite ( tidak berujung ), hal ini terbuktikan ketika mereka mengambil foto planet Mars, radiasi tersebut masih berlanjut terus. Para peneliti Muslim mempercayai bahwa radiasi ini memiliki karakteristik dan menghubungkan antara Ka'Bah di di planet Bumi dengan Ka'bah di alam akhirat.

Di tengah-tengah antara kutub utara dan kutub selatan, ada suatu area yang bernama 'Zero Magnetism Area', artinya adalah apabila kita mengeluarkan kompas di area tersebut, maka jarum kompas tersebut tidak akan bergerak sama sekali karena daya tarik yang sama besarnya antara kedua kutub.

Itulah sebabnya jika seseorang tinggal di Mekah, maka ia akan hidup lebih lama, lebih sehat, dan tidak banyak dipengaruhi oleh banyak kekuatan gravitasi. Oleh sebab itu lah ketika kita mengelilingi Ka'Bah, maka seakan-akan diri kita di-charged ulang oleh suatu energi misterius dan ini adalah fakta yang telah dibuktikan secara ilmiah.

Penelitian lainnya mengungkapkan bahwa batu Hajar Aswad merupakan batu tertua di dunia dan juga bisa mengambang di air. Di sebuah musium di negara Inggris, ada tiga buah potongan batu tersebut ( dari Ka'Bah ) dan pihak musium juga mengatakan bahwa bongkahan batu-batu tersebut bukan berasal dari sistem tata surya kita.

Dalam salah satu sabdanya, Rasulullah SAW bersabda, "Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adamlah yang menjadikannya hitam. ( Jami al-Tirmidzi al-Hajj (877)

Selengkapnya...

 

My Blog Log

Followers